Sahabat Abdullah bin Harits az-Zubaidi mengatakan,
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ
وَاللَّحْمَ
Di zaman Nabi Kami
makan roti dan daging di dalam masjid. (HR. Ibnu Majah 3425, dan dishahihkan al-Albani)
(kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Jus II,
halaman 137-174)
ﺇِﺑَﺎﺣَﺔُ
ﺍْﻷَﻛْﻞِ ﻭَﺍﻟﺸُّﺮْﺏِ ﻭَﺍﻟﻨَّﻮْﻡِ ﻓِﻴْﻬَﺎ : ﻓَﻌَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻨَّﺎ
ﻓِﻲ ﺯَﻣَﻦِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻧَﻨَﺎﻡُ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﻧَﻘِﻴْﻞُ ﻓِﻴْﻪِ ﻭَﻧَﺤْﻦُ ﺷَﺒَﺎﺏٌ
Boleh
hukumnya, makan, minum dan tidur di masjid di mana saja. Terdapat sebuah hadits
dari Ibnu Umar, beliau berkata : Kami (para sahabat) pada zaman Rasulullah saw
suka tidur di masjid, kami tidur qailulah (tidur tengah hari) di dalamnya, dan
kami pada waktu itu masih muda-muda. (Kitab Fiqhus Sunnah, Juz I, halaman 213).
An-Nawawi mengatakan,
قال الشافعي والأصحاب:
يجوز للمعتكف وغيره أن يأكل في المسجد ويشرب ويضع المائدة، ويغسل يده بحي
ث لا يتأذى بغسالته
أحد، وإن غسلها في الطست فهو أفضل، …. قال أصحابنا: ويستحب للآكل أن يضع سفرة
ونحوها ليكون أنظف للمسجد وأصون
As-Syafi’i dan para ulama syafi’iyah mengatakan,
boleh bagi orang yang I’tikaf atau yang lainnya untuk makan, minum, dan membawa
makanan di masjid. Demikian pula cuci tangan di masjid, selama kotorannya tidak
mengganggu orang lain. Jika cuci tangan dilakukan di wadah, itu lebih bagus….
Para ulama syafi’iyah mengatakan, “Dianjurkan bagi orang yang makan untuk
memasang alas atau semacamnya agar lebih menjaga kebersihan masjid.”
(al-Majmu’, 6/534).
TIDUR DI DALAM MASJID MENURUT 4 IMAM
MADZHAB
1. Menurut madzhab Hanafi
Tidur di dalam masjid itu hukumnya makruh, kecuali bagi musafir dan
orang yang sedang beri’tikaf.
Dan, apabila ada seseorang yang hendak tidur di masjid, namun sebelum
itu ia berniat untuk beri’tikaf dan melakukan ketaatan di dalamnya, maka tidak
ada larangan baginya untuk tidur di dalam masjid setelah itu.
2. Menurut madzhab Asy-Syafi’i
Tidur di dalam masjid itu tidak dimakruhkan, kecuali tidurnya akan
mengganggu orang lain yang hendak beribadah. Misalnya jika orang yang tidur itu
mengeluarkan suara dengkuran yang cukup keras.
3. Menurut madzhab Hambali
Tidur di dalam masjid itu dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf dan juga
yang lainnya, asalkan ia tidak tidur di hadapan orang-orang yang akan
melaksanakan shalat, sebab melakukan shalat di depan orang yang sedang tidur
hukumnya makruh.
Dan para jamaah shalat berhak untuk membangunkan orang yang tidur itu
jika ia tertidur di bagian depan masjid.
4.
Menurut madzhab Maliki:
Tidur di dalam masjid itu dibolehkan asal pada siang hari, sedangkan
untuk malam hari hanya dibolehkan jika masjid tersebut berada di pedesaan dan
tidak diperkotaan, karena dimakruhkan untuk tidur di dalamnya bagi para tuna
wisma atau orang yang kemalaman di jalan.
Adapun jika masjid dijadikan sebagai tempat tinggal, maka hal itu tidak
dibolehkan, kecuali bagi seseorang yang memang berniat untuk mengabdikan
dirinya di dalam masjid untuk beribadah.
Namun khusus untuk kaum pria saja, sedangkan untuk kaum perempuan tetap
tidak dibolehkan.
HUKUM MAKAN DAN MINUM DI DALAM ASJID MENURUT
4 IMAM MADZHAB
1. Menurut madzhab Hanafi
Memakan makanan
yang tidak menimbulkan bau tak sedap hukumnya makruh. Sedangkan jika makanan
tersebut dapat menimbulkan bau tak sedap seperti bawang putih atau bawang
merah, maka hukumnya makruh tahrim (makruh
yang lebih dekat dengan haram).
Karena orang yang sudah memakannya saja sudah dilarang untuk masuk ke
dalam masjid, sama seperti orang yang memiliki bau mulut yang menyengat hingga
aromanya dapat mengganggu para pelaksana shalat lainnya.
Telah diriwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا
فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ
“Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah,
maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya”
[Al-Bukhari, kitab Al-Adzan 855, Muslim, kitab Al-Masajid 73, 564]
Dan, hukum larangan ini juga berlaku bagi siapa saja yang dapat
mengganggu jamaah di dalam masjid, meski hanya melalui lisannya sekalipun.
2. Menurut madzhab Maliki
Dibolehkan bagi para musafir yang tidak memiliki tempat bernaung untuk
menginap di dalam masjid serta memakan makanan di dalamnya, asalkan dari jenis
makanan yang tidak mengotori masjid tersebut, seperti buah kurma atau yang
lainnya.
Namun sebenamya mereka juga boleh memakan makanan yang dapat mengotori
masjid, asalkan mereka dapat menjamin kebersihannya, misalkan dengan menyapunya
setelah ia makan.
Tapi dengan syarat, asalkan makanan itu tidak menimbulkan bau yang tidak
sedap. Jika menimbulkan bau tak sedap, maka diharamkan baginya untuk memakan
makanan tersebut di dalam masjid.
3. Menurut madzhab Asy-Syaf i
Memakan makanan di dalam masjid hukumnya mubah, asalkan tidak mengotori
masjid, seperti memakan keju kering atau madu.
Namun apabila dapat mengotorinya, maka diharamkan bagi siapa pun untuk
makan di dalamnya, karena mengotori masjid hukumnya haram, meskipun makanan itu
suci.
Lain halnya jika makanan tersebut, sisanya hanya sekadar berupa sampah
yang dapat disapu, bukan kotoran yang bernoda, maka memakannya di dalam masjid
hukumnya makruh.
4. Menurut madzhab Hambali:
Bagi orang-orang yang beri’tikaf atau juga yang lainnya boleh memakan
makanan apa saja di dalam masjid, asalkan tidak menimbulkan noda, tidak
membuang tulang, atau semacarmya.
Apabila hal itu terjadi, maka diwajibkan baginya untuk membersihkan
masjid tersebut dari kotoran yang disebabkannya.
Hukum ini berlaku hanya untuk makanan yang tidak menimbulkan bau tak
sedap, seperti bawang putih atau bawang merah, karena memakan makanan seperti
itu di dalam masjid hukumnya dimakruhkan.
Dan, dimakruhkan pula bagi orang yang sudah memakannya untuk masuk ke
dalam masjid, sebagaimana dimakruhkan pula bagi orang yang menyebarkan bau
busuk dari mulutnya.
Apabila orang-orang seperti itu sudah terlanjur masuk ke dalam masjid,
maka bagi jamaah lainnya dibolehkan untuk mempersilahkan mereka keluar dari
masjid agar tidak mengganggu orang-orang yang hendak beribadah.
Sebagaimana
dimakruhkan pula bagi siapa pun untuk mengeluarkan angin yang tidak sedap
aromanya di dalam masjid.