Sabtu, 29 Februari 2020

Akidah Ahlussunah Wal Jama'ah

Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi




1.        Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.

2.         Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.[33]

3.        Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.

4.        Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.

5.        Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.

6.        Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.[34]

7.        Tentang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus  Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:

Ø  Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.

Ø  Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.

Jumat, 28 Februari 2020

hUKUM MEMBACA SURATAN DALAM SHOLAT JUM'AT SELAIN SURATAN YG DISUNAHKAN ROSUL SAW


Secara umum shalat Jumat tidak berbeda dengan shalat yang lain dari sisi rukun, syarat, kesunahan dan tata cara pelaksanaannya. Di antara titik kesamaannya adalah kesunahan bagi imam membaca surat setelah membaca surat al-Fatihah di setiap rakaatnya. Hanya saja, ada anjuran khusus perihal surat yang dibaca imam dalam shalat Jumat.   Fuqaha menegaskan disunahkan bagi imam shalat Jumat membaca surat al-Jum’ah di rakaat pertama, dan surat al-Munafiqun di rakaat kedua; atau surat al-A’la di rakaat pertama, dan surat al-Ghasyiyah di rakaat kedua.   Kesunahan tersebut berdasarkan hadits:  

 عَنِ ابْنِ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: اسْتَخْلَفَ مَرْوَانُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَلَى الْمَدِينَةِ، وَخَرَجَ إِلَى مَكَّةَ، فَصَلَّى لَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ الْجُمُعَةَ، فَقَرَأَ بَعْدَ سُورَةِ الْجُمُعَةِ، فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ: إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ، قَالَ: فَأَدْرَكْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ حِينَ انْصَرَفَ، فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّكَ قَرَأْتَ بِسُورَتَيْنِ كَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَقْرَأُ بِهِمَا بِالْكُوفَةِ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: «إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ   

“Dari Ibni Abi Rafi’ beliau berkata; Marwan meminta Abu Hurairah menggantikannya (menjadi Imam) di kota Madinah, Marwan keluar menuju Mekah, lalu Abu Hurairah shalat untuk kita, beliau membaca setelah surat al-Jum’ah di rakaat terakhir, surat Idza Ja’aka al-Munafiqun. Marwan berakata; aku menemui Abu Hurairah saat ia pulang, aku katakan kepadanya; sesungguhnya engkau membaca dua surat yang dibaca Ali saat di Kufah. Abu Hurairah berkata; sesungguhnya aku mendengar Rasulullah membaca kedua surat tersebut pada hari Jumat” (HR. Muslim).   Dalam riwayat yang lain, Imam Muslim menyebutkan:  

 عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ اسْتَخْلَفَ مَرْوَانُ أَبَا هُرَيْرَةَ، بِمِثْلِهِ، غَيْرَ أَنَّ فِي رِوَايَةِ حَاتِمٍ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ فِي السَّجْدَةِ الْأُولَى وَفِي الْآخِرَةِ إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ.  

 “Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ beliau berkata; Marwan meminta Abu Hurairah menggantikannya seperti hadits sebelumnya, hanya dalam riwayat Hatim terdapat keterangan; lalu Abu Hurairah membaca surat al-Jum’ah di rakaat pertama, dan surat Idza Ja’aka al-Munafiqun di rakaat terakhir” (HR. Muslim).   Adapun anjuran membaca surat al-A’la dan al-Ghasyiyah disebutkan dalam riwayat al-Nu’man bin Basyir: 

  عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ  

 “Dari al-Nu’man bin Basyir beliau berkata; Rasulullah membaca dalam shalat dua hari raya dan Jumat surat Sabbihismarabbikal A’la dan surat Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah” (HR. Muslim).   Al-Imam al-Nawawi menegaskan bahwa pendapat yang benar adalah dua paket surat di atas disunahkan dalam shalat Jumat, keduanya telah dibaca oleh Nabi. Sesekali Nabi membaca surat al-Jum’ah dan al-Munafiqun, dalam kesempatan yang lain beliau membaca surat al-A’la dan al-Ghasyiyah. Al-Nawawi mengkritik pendapat Imam al-Rafi’i yang menyebut bahwa dalam permasalahan ini terdapat perbedaan antara qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadid. Menurut kesimpulan al-Rafi’i, versi qaul al-Jadid yang sunah dibaca adalah Surat al-Jum’ah dan al-Munafiqun, sementara versi qaul al-Qadim surat al-A’la dan al-Ghasyiyah.   Baca juga: • Susunan Wirid Hari Jumat Imam al-Ghazali • Ini yang Dianjurkan saat Khatib Duduk di Antara Dua Khutbah   Al-Imam Al-Nawawi menegaskan:  

 يستحب أن يقرأ في الركعة الأولى من صلاة الجمعة بعد (الفاتحة) : سورة (الجمعة) . وفي الثانية: (المنافقين) . وفي قول قديم: إنه يقرأ في الأولى: (سبح اسم ربك الأعلى) . وفي الثانية: (هل أتاك حديث الغاشية)   

“Disunahkan membaca di rakaat pertama dari Shalat Jumat setelah al-Fatihah, surat al-Jum’ah, dan di rakaat kedua, surat al-Munafiqun. Dalam qaul al-Qadim disebutkan, dianjurkan membaca di rakaat pertama, surat Sabbihismarabbikal A’la, dan di rakaat kedua surat Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah.”   

 قلت: عجب من الإمام الرافعي - رحمه الله كيف جعل المسألة ذات قولين، قديم وجديد؟ ! والصواب: أنهما سنتان. فقد ثبت كل ذلك في (صحيح مسلم) من فعل رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فكان يقرأ هاتين في وقت، وهاتين في وقت.  

 “Aku berkata; mengherankan dari Imam al-Rafi’i mengapa beliau menjadikan persoalan ini dua qaul, qadim dan Jadid. Pendapat yang benarm bahwa dua paket surat tersebut disunahkan. Sesungguhnya masing-masing telah ditetapkan dalam Shahih Muslim dari perilaku Rasulullah, Nabi membaca surat al-Jum’ah dan al-Munafiqun dalam satu waktu, dan dalam waktu yang lain membaca surat al-A’la dan al-Ghasyiyah” (Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, juz 2, hal. 45).   Disebutkan dalam Hasyiyah al-Jamal, kesunahan membaca dua paket surat yang dianjurkan Nabi tidak mempertimbangkan jumlahnya makmum. Kesunahan tersebut tetap berlaku meski jamaah Jumat berjumlah sangat banyak sampai tidak terhingga.    Namun Syekh Ali Syibramalisi memberi catatan, bila diduga memberi mudarat kepada sebagian makmum, misalnya karena menahan kencing, maka tidak lagi disunahkan, namun sebaiknya imam memilih bacaan surat yang relatif lebih pendek. Sebab hal tersebut berpotensi mengakibatkan Imam ditinggalkan jamaahnya dan menjadikannya shalat sendirian.   Syekh Sulaiman al-Jamal menegaskan: 

  (قوله: وأن يقرأ في الأولى الجمعة إلخ) أي ولو صلى بغير محصورين اهـ. ش م ر وعمومه شامل لما لو تضرروا أو بعضهم لحصر بول مثلا وينبغي خلافه؛ لأنه قد يؤدي إلى مفارقة القوم له وصيرورته منفردا اهـ. ع ش عليه.  

 “Ucapan Syekh Zakariyya; dan dianjurkan membaca surat al-Jum’ah dan seterusnya; meski Imam shalat dengan jamaah yang tidak terhitung. Keumuman ini mencakup permasalahan makmum atau sebagian dari mereka yang mengalami mudarat semisal karena menahan kencing, namun seyogyanya tidak demikian, sebab hal tersebut terkadang mengakibatkan berpisahnya jamaah dengan Imam dan menjadikannya shalat sendirian” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 2, hal. 36).   Dalam prakteknya masih ditemukan Imam shalat Jumat membaca selain dua paket surat di atas, misalnya karena tidak hafal, memberi kenyamanan kepada makmum dan sebagainya. Biasanya imam memilih surat dengan durasi yang lebih pendek agar jamaah tidak resah. Bagaimana hukumnya?   Membaca selain Surat al-Jum’ah & al-Munafiqun atau surat al-A’la & al-Ghasyiyah adalah perilaku yang menyalahi Sunnah (khilaf al-Sunnah). Dalam teori ushul fiqh, perbuatan yang menyelisihi sunah Nabi hukumnya makruh bila ada dalil yang secara khusus melarangnya, dan disebut khilaf al-Aula bila tidak ada dalil yang melarangnya secara spesifik.   Syekh Sulaiman al-Jamal mengatakan:  

 وما ذكر من الكراهة في الثاني هو ما جزم به النووي في كتبه لكنه خالف في المجموع فقال نص الشافعي على أنه يستحب أن لا تسمى العشاء عتمة وذهب إليه المحققون من أصحابنا وقالت طائفة قليلة يكره  

 “Keterangan yang disampaikan Mushannif mengenai kemakruhan adalah pendapat yang diyakini Imam al-Nawawi di dalam kitab-kitabnya, akan tetapi al-Nawawi menyelisihi dalam kitab al-Majmu’, beliau berkata; Imam al-Syafi’i menegaskan disunahkan tidak menamai Isya’ dengan sebutan ‘Atamah, ini adalah pendapat yang didukung ulama muhaqqiqin dari Ashab kita. Berkata sekelompok minoritas, hukumnya makruh.”  

 (قوله: أن لا تسمى العشاء عتمة) أي فتكون التسمية خلاف الأولى أخذا من قوله وقالت طائفة إلخ ومع ذلك فالمعتمد ما قاله الأقلون ولا ينافيه قول المجموع يستحب أن لا تسمى العشاء عتمة؛ لأن خلاف السنة إن ورد فيه نهي بخصوصه كان مكروها كما هنا وإلا كان خلاف الأولى اهـ ع ش  

 “Ucapan Syekh Zakariyya; disunahkan tidak menamai Isya’ dengan sebutan ‘Atamah; maka menyebutnya ‘Atamah hukumnya khilaf al-Aula, karena mengambil dari ucapan Syekh Zakariyya; berkata sekelompok minoritas dan seterusnya. Namun demikian, pendapat yang dibuat pegangan adalah pendapat ulama minoritas, tidak bertentangan dengannya ucapan kitab al-Majmu’; disunahkan tidak menamai Isya’ dengan ‘Atamah;, karena menyelisihi sunah bila terdapat larangan khusus hukumnya makruh seperti permasalahan ini, bila tidak demikian maka khilaf al-Aula” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 1, hal. 273).   Dalam konteks bacaan surat shalat Jumat tidak ada dalil khusus yang melarang membaca selain surat al-Jum’ah & al-Munafiqun atau surat al-A’la & al-Ghasyiyah. Oleh karenanya, meninggalkan dua paket surat yang dianjurkan Nabi hukumnya khilaf al-Aula (menyalahi yang lebih utama).    Membaca dua paket surat dalam shalat Jumat sebagaimana diajarkan Nabi tujuannya adalah agar mendapat kesunahan yang lebih sempurna, oleh sebab itu bila Imam membaca surat yang lain, hukumnya boleh bahkan sudah cukup mendapat pahala kesunahan membaca surat di setiap rakaat secara umum.   Bila melihat sudut pandang fiqh dakwah, hendaknya para pemuka agama tidak kaku atau kasar sehingga mengakibatkan umat berpaling dari dakwahnya. Perlu tahapan-tahapan tertentu dalam menuntun masyarakat untuk menjadi muslim yang sempurna. Atas dasar prinsip ini, Imam Ahmad bin Hanbal menyunahkan bagi Imam meninggalkan doa qunut dalam shalat witir karena mengambil hati para makmum (lihat Muhammad bin Muflih al-Hanbali, al-Furu’, juz 2, hal. 171).    Syekh Alauddin al-Kasani, ulama besar mazhab Hanafi dalam bab shalat tarawih menjelaskan imam shalat hendaknya mengukur durasi surat yang ia baca sekiranya tidak menjadikan jamaah berpaling dari jamaah. Al-Kasani menegaskan:  

 وأما في زماننا فالأفضل أن يقرأ الإمام على حسب حال القوم من الرغبة والكسل فيقرأ قدر ما لا يوجب تنفير القوم عن الجماعة؛ لأن تكثير الجماعة أفضل من تطويل القراءة   
 “Adapun di masa kami, yang lebih utama adalah imam membaca surat menyesuaikan kondisi kesemangatan dan kemalasan kaum, maka ia hendaknya membaca surat dalam batas yang sekira tidak menyebabkan kaum lari dari jamaah, sebab memperbanyak jamaah lebih utama dari pada memanjangkan bacaan” (Syekh Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Badai’ al-Shanai’, juz 1, hal. 289).   Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa membaca surat al-Jum’ah & al-Munafiqun atau surat al-A’la & al-Ghasyiyah adalah disunahkan, meninggalkannya adalah menyelisihi keutamaan. Meski demikian, penting bagi imam memperhatikan kondisi makmumnya, agar bacaan panjangnya tidak menjadikan makmum malas mengikuti jamaah Jumat.




Rabu, 26 Februari 2020

UCAPAN UCAPAN GUS DUR YANG MENJADI KENYATAAN


Almarhum Nurcholis Madjid (Cak Nur) sambil bercanda pernah berkata, “hal yang misterius dan hanya Tuhan yang tahu, selain jodoh, maut, dan rezeki, adalah Gus Dur”.
Gus Dur -allah yarham,- memang begitu misterius, hingga sikap, ucapan dan kebijakan beliau sering disalahpahami orang lain, bahkan oleh sebagian warga nahdhiyin (NU) sendiri. Apalagi musuh-musuh beliau yang menilai bahwa ucapan dan sikap beliau tidak masuk akal, bahkan mereka “men-cap” beliau sebagai orang gila.
Namun belakangan, terlebih setelah Gus Dur wafat, sikap dan ucapan beliau yang dianggap tidak masuk akal, ternyata terbukti banyak benarnya.
Seperti yang diceritakan para tokoh Vatikan, saat Gus Dur menjabat sebagai ketua PBNU, beliau mengunjungi Vatikan. Dan sambil guyon Gus Dur berkata bahwa beliau akan datang lagi ke Vatikan tapi tidak sebagai ketua PBNU tapi sebagai seorang Presiden.
Ucapan Gus Dur hanya dianggap candaan oleh para tokoh Vatikan. Dan ternyata pada kunjungan selanjutnya tokoh Vatikan terkaget-kaget karena Gus Dur memang datang sebagai seorang Presiden. Itulah mengapa beliau dijuluki “santo” oleh para tokoh Vatikan.
Saat Gus Dur diminta pertanggung jawaban oleh DPR, dengan gagah berani beliau datang ke gedung bundar dan menghadapi anggota DPR. Di hadapan mereka semua, dengan lantang Gus Dur mengatakan bahwa DPR seperti Taman Kanak-kanak.
Saat itu, banyak anggota DPR yang tersinggung dan menuding Gus Dur gila. Tapi pada kenyataan yang kita lihat saat ini, ternyata apa yang dikatakan Gus Dur, benar-benar terbukti. Anggota DPR senang ketika jalan-jalan dan tidur ketika sidang, senang rebutan proyek, dan punya pernah ada kasus meminta-minta dari "papa minta saham, mama minta s0ftex dan sekarang, si papa malah ada yang minta kasur, dan seterusnya.
Pak Sutarman adalah ajudan Gus Dur, dan Gus Dur pernah berkata pada Pak Sutarman, “nanti Pak Tarman akan jadi Kapolda Metro, setelah itu Pak Tarman akan menjadi Kapolri”. Pada saat itu, Pak Sutarman hanya tertawa karena mengganggap hal itu tidak akan terjadi, bahkan bermimpi menjadi Kapolri pun belum pernah. Dan tepat pada tanggal 23 Oktober 2013, Pak Sutarman ternyata resmi dilantik menjadi Kapolri oleh Presiden SBY.
Pada 8 Januari 2006, Gus Dur pernah mampir ke rumah dinas walikota Solo untuk bertemu dengan beberapa tokoh agama. Saat itu Bung Joko baru 6 bulan menjabat walikota. Dan pada hari itu Gus Dur berkata, “siapapun yang dikehendaki rakyat, termasuk Pak Jokowi ini, kalau dia jadi walikota yang bagus, kelak juga bisa jadi presiden.” Bung Joko hanya senyam-senyum pada waktu itu.
Di pagi hari, Gus Dur meminta Kang Said (KH. Said Aqil Siradj) untuk menyediakan air putih dan roti tawar untuk sarapan. Lalu Gus Dur meminta Kang Said untuk membacakan kitab Ihya’ Ulumuddin.
Baru dibacakan dua paragraf, Gus Dur sudah mendengkur. Lima menit kemudian beliau terbangun dan berkata pada Kang Said, “sampean akan menjadi ketua PBNU di atas usia 55 tahun”.
Pada Muktamar NU ke 30, Kang Said di usia 46 tahun mencalonkan diri menjadi ketua PBNU bersaing dengan KH. Hasyim Muzadi. Dan yang terpilih pada saat itu adalah KH. Hasyim. Selanjutnya, pada muktamar NU ke-32, Kang Said mencalonkan diri lagi menjadi ketua PBNU. Saat itulah beliau terpilih, tepat di usia 56 tahun.
Setelah gagal menjadi gubernur Bangka Belitung, Koh Ahok bertemu Gus Dur dan Gus Dur berkata, “kamu akan menjadi gubernur”. Benar juga, Ahok akhirnya jadi gubernur, tapi bukan di Bangka Belitung.
Guru Besar UGM Profesor Suhardi, pernah menjadi Dirjen di Departemen Kehutanan di era Gus Dur. Di ruang ICCU, berapa hari sebelum wafatnya, Gus Dur berkata kepada sang profesor, "Pak Hardi saya titip bangsa ini. Tolong ikut dikawal Pansus Century di DPR. Besok Kamis saya akan pulang ke Tebuireng dengan diantar banyak orang. Saya sudah ditunggu ayah saya di sana," kata Gus Dur. Beliua meninggal tepat sesuai perkataan.
Masih banyak lagi kisah misterius tentang Gus Dur. Yang membuat tertawa adalah perkataan Gus Dur yang pernah diucapkan kepada Fidel Castro, “saya menjadi presiden dipilih oleh orang-orang gila". Sekarang kita saksikan sendiri bagaimana perilaku mereka yang memilih Gus Dur pada masa itu.

Selasa, 18 Februari 2020

BAGAIMANAKAH AKIDAH SYI'AH ?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Zat Yang Maha Sempurna nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Saudaraku, sesungguhnya jalan kebenaran sangatlah jelas, begitu pula jalan kesesatan begitu gamblangnya. Semuanya telah ditunjukkan oleh Allah Ta’ala dan diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sejelas-jelasnya. Maka barangsiapa yang mengambil petunjuk dari Allah dan rasul-Nya dia akan meniti jalan kebenaran, sedangkan yang meninggalkannya akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan. Di antara kelompok yang jauh menyimpang dari ajaran Allah dan rasul-Nya adalah ajaran Syi’ah. Walaupun mereka mengaku Islam, namun hakekatnya mereka bukanlah Islam. Kita akan lihat bagaimana akidah dan keyakinan Syi’ah yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka sehingga kita bisa menilai siapa mereka sesungguhnya.



Akidah Syi’ah Tentang Nama dan Sifat Allah
Di antara akidah Syi’ah tentang nama dan sifat Allah adalah :
  1. Syi’ah menafikan (meniadakan) sifat nuzul (turun-Nya Allah) bagi Allah ke langit dunia dan menghukumi kafir bagi yang menetapkan hal tersebut. (Ushuulul Kaafi 1/103).
  2. Syi’ah menyifati imam-imam mereka dengan sifat-sifat Allah  dan menamai mereka dengan nama-nama Allah Ta’ala. (Lihat Kitab Ushuulul Kaafi 1/103)
Akidah Syi’ah Tentang Tauhid
Di antara akidah Syi’ah berkenaan dengan tauhid adalah :
  1. Syi’ah meyakini bahwa planet-planet dan bintang-bintang mereka memiliki pengaruh bagi kebahagaiaan dan kesengsaraan serta nasib masuk surga dan neraka (Ar Raudhatu minal Kaafi 8/2103)
  2. Syi’ah meyakini bahwasanya syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah harus disertai dengan persaksian bahwa Ali adalah wali Allah. Merka senantiasa mengulang-ulangnya dalam adzan mereka dan setiap setelah selesai shalat dan ketika mentalkin orang yang sudah meninggal. (Kitab Furuu’il Kaafi 3/82)
  3. Syi’ah meyakini bahwa Allah  mengutus Jibril untuk membawa wahyu kepada Ali, namun Jibril keliru memberikan wahyu kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam (Kitab Al Maniyatu wal Amal fii Syarhil Milal Wan Nahl 30)
Akidah Syi’ah Tentang Al Qur’an
Di antara akidah Syi’ah tentang Al Qur’an adalah :
  1. Syi’ah meyakini bahwa Al Qur’an yang sekarang ada bukanlah Al Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad shalllahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sudah diganti, diberi tambahan, dan dikurangi. Muhaddits Syi’ah meyakini bahwa sudah ada perubahan dalam Al Qur’an sebagaimana disebutkan oleh An Nauri At Tabrasi dalam kitab Faslul Khitab fii Tahrifi Kitabi Rabbil Arbaab.
  2. Syi’ah meyakini bahwa Al Qur’anul Karim ada yang kurang dan Al Qur’an yang sesungguhnya naik ke langit ketika para sahabat  murtad. (Kitab At Tanbih war Radd  25)
Akidah Syi’ah Tentang Ali dan Ahlul Bait
Di antara akidah Syi’ah tentang Ali dan Ahlul Bait adalah :
  1. Menurut Syi’ah bahwa yang pertama kali akan ditanyalan pada mayit di kuburnya adalah tentang kecintaan terhadap Ahlul Bait (Kitab Baharul Anwar 27/79).
  2. Syi’ah mengatakan bahwa Ali dapat menghidupkan mayit (Lihat Kitab Ushuulul Kaafi 1/90-91)
  3. Para ulama Syi’ah mengatakan bahwa debu dan lumpur di kubur Al Husain adalah obat untuk segala penyakit (Kitab Al Amaliy 318)
Akidah Syiah Tentang Sahabat Nabi
Di antara akidah Syi’ah tentang sahabat Nabi adalah :
  1. Syi’ah meyakini bahwa barangsiapa yang melaknat Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Aisyah, Hafsah radhiyallahu ‘anhum setiap selesai shalat maka dia sungguh telah mendekatkan diri kepada Allah dengan pendekatan diri yang paling utama. (Kitab Furuu’il Kaafi 3/224)
  2. Syi’ah meyakini bahwa seluruh manusia murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali empat orang : Salman Al Farisi, Abu Dzar Al Ghifari, Miqdad bin Aswad, dan ‘Ammar bin Yasir  (Al Anwar An Ni’maaniyah 1:81)
  3. Syi’ah meyakini bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menghabiskan banyak waktu hidupnya untuk menyembah berhala, dan iman beliau seperti imannya orang Yahudi dan Nasrani. Abu Bakar shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara berhala tergantung di lehernya dan Abu Bakar sujud kepadanya. (Lihat Baharul Anwar 25/172)
  4. Sesungguhnya Abu Bakar dan ‘Umar keduanya telah kafir.. dan orang yang mencintai keduanya maka dia juga kafir. (Haqqul Yaqin 522)
  5. Syi’ah mengatakan bahwa ‘Utsaman bin Affan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  termasuk orang yang secara lahir menampakkan Islam  namun menyembunyikan sifat munafik. (Kitab Al Anwar An Ni’maaniyah 1:81)
  6. Syi’ah meyakini bahwa barangsiapa berlepas diri dan meolak tiga khalifah -yakni Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman- dalam setiap malam, apabila dia mati di malam tersebut maka dia masuk surga (Lihat Kitab Ushuulul Kaafi)
Akidah Syi’ah Tentang Istri-Istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  1. Syi’ah meyakini bahwa ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Hafsah binti ‘Umar kafir (Kitab Tafsir Al Qumi 597)
  2. Syi’ah meyakini bahwa salah satu pintu neraka adalah untuk ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (Lihat Tafsir Al ‘Ayasyi 2/362)
  3. Syi’ah mengatakan bahwa ‘Aisyah adalah wanita pezina (Lihat Kitab ‘Ilalul Syaraa-i’ 2:565 dan  Haqqul Yaqin 347)
Akidah Syi’ah Tentang Imam-Imam Mereka
Di antara akidah Syi’ah tentang imam-imam mereka adalah :
  1. Syi’ah menyakini bahwa imam-imam mereka adalah perantara antara Allah dan makhluk-Nya (Kitab Baharul Anwar 23/5-99)
  2. Syi’ah tidak membedakan antara Allah dan imam-imam mereka (Lihat Mashabihul Anwar 2/397)
  3. Syi;ah meyakini bahwa imam-imam mereka tidaklah berbicara keculai berdasarkan wahyu (Kitab Baharul Anwar 17/155)
  4. Syi’ah meyakini bahwa imam-imam mereka memiliki kedudukan yang tidak dapat dicapai oleh para nabi dan malaikat (Al Hukumah Al Islamiyah 52)
  5. Syi’ah meyakini bahwa perhitungan amal seluruh makhluk pada hari kiamat adalah kepada imam mereka (Kitab Al Fushuul Muhimmah fii Ushuulil Aimmah 1:446)
  6. Syi’ah meyakini bahwa menziarahi kuburan para imam dan wali mereka merupakan suatu kewajiban dan kafir bagi yang meninggalkannya ( Kitab Kamaluz Ziyaarat 183)
Akidah Taqiyyah
Yang dimaksud taqiyyah menurut ulama Syi’ah adalah adalah
(( التقية أن تقول أو تفعل غير ما تعتقد، لتدفع الضرر عن نفسك أو مالك او لتحفظ بكرامتك))
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat yang tidak sesuai dengan apa yang diyakini, untuk menghindari mudharat yang mengancam jiwa dan hartamu atau untuk menjaga kehormatanmu.
Di antara akidah Syi’ah tentang taqiyyah adalah :
  1. Mereka mengatakan : “ Tidak ada iman bagi yang tidak melakukan taqiyyah” (Syarhu ‘Aqaaids Shudduuq 261)
  2. Menurut Syi’ah, barangsiapa yang meninggalkan taqiyyah seperti meninggalkan shalat dan meninggalkannya termasuk dosa besar.. Mereka bermualah bersama kita dan melaksanakan sunnah dengan taqiyyah. Bahkan mereka mengatakan : “ Barangsiapa yang meninggalkan taqiyyah maka dia kafir dari agama Allah. (Kitab Man Laa Yahdharahul Faqiih)
  3. Disebutkan dalam kitab Ushuulul Kaafi dari Abu ‘Abdillah, dia mengatakan : “Ber-taqiyyah-lah dalam agama kalian, dan berhujjahlah dengan taqiyyah, sesungguhnya tidak ada iman bagi yang tidak ber-taqiyyah
Yang disebutkan di atas hanyalah sebagian saja dari kesesatan akidah – akidah Syi’ah. Masih banyak akidah-akidah lainnya yang menyimpang dari ajaran Islam

Komentar Para Ulama Tentang Syi’ah
Untuk lebih menunjukkan kesesatan Syi’ah, berikut kami nukilkan beberapa komentar para ulama besar tentang ajaran Syi’ah.
قال شيخ الاسلام ابن تيمية – رحمه الله رحمة واسعة – : (( وقد اتفق أهل العلم بالنقل والرواية والاسناد على أن الرافضة أكذب الطوائف، والكذب فيهم قديم، ولهذا كان أئمة الاسلام يعلمون امتيازهم بكثرة الكذب ))
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Ahli ilmu telah sepakat bahwa Syi’ah Rafidhah merupakan kelompok paling pendusta, dan kedustaan mereka sudah lama dan usang. Oleh karena itu para ulama Islam mengetahui kekhususan mereka dengan banyaknya kedustaan yang ada pada mereka”.
(( سئل مالك – رحمه الله – عن الرافضة فقال : لاتكلمهم ولا تروي عنهم فإنهم يكذبون. ))
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang Rafidhah, beliau mengatakan : “ Jangan berbicara dengan mereka, jangan meriwayatkan dari mereka karena mereka adalah pendusta”.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang firman Allah :
محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم تراهم ركعا سجدا يبتغون فضلا من الله ورضوانا سيماهم في وجوههم من أثر السجود ذلك مثلهم في التوارة ومثلهم في الإنجيل كزرع أخرج شطئه فئازره فاستغلظ فاستوى على سوقه يعجب الزراع ليغيظ بهم الكفار
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud . Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min)” (Al Fath:29)
(( ومن هذه الآية انتزع الإمام مالك – رحمة الله عليه – في رواية عنه بتكفير الروافض الذين يبغضون الصحابة – رضوان الله عليهم – قال : لأنهم يغيظونهم ومن غاظ الصحابة – رضي الله عنهم – فهو كافر لهذه الآية )).
Beliau rahimahullah mengatakan : “Berdasarkan ayat ini Imam Malik mengkafirkan Rafidhah yang membenci para sahabat . Karena mereka tidak suka kepada para sahabat. Barang siapa yang tidak suka (benci) kepada sahabat, maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.
وقال أبو حاتم : (( حدثنا حرملة قال : سمعت الشافعي – رحمه الله – يقول لم أرَ أحداً أشهد بالزور من الرافضة )).
Abu Hatim mengatakan : “ Telah menceritakan kepadaku Harmalah, dia berkata : “Aku mendengar Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan” : “ Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih parah kejelekannya daripada Syi’ah Rafidhah”
Setelah menyimak pembahasan di atas, silakan para pembaca menilai sendiri. Berdasarkan akidah-akidah yang ada pada mereka, jelas menunjukkan kesesatan mereka. Begitu jauhnya mereka dari ajaran agama Islam. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus dan senantiasa memberi taufiq agar kita istiqamah di atasnya.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.


Senin, 17 Februari 2020

BACAAN DALAM SHOLAT DAN DALILNYA

bacaan dalam shalat beserta dalilnya


terkaitan dengan sholat dan bacaan-bacaannya, Rasulullah SAW telah berwasiat kepada kita semuanya, dalam sebuah hadits yang sangat terkenal:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
"Dan shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat."
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan selainnya (semoga Allah SWT merahmati mereka semuanya).

Selanjutnya, bagaimanakah dengan bacaan-bacaan shalat Rasulullah SAW menurut hadits shahih…???

Berikut ini ana akan paparkan hal tersebut:

1) Niat
Dalam hal niat, Nabi SAW tidak pernah memberikan contoh mengenai lafaznya dalam semua ibadah, Namun begitu sebagian Ulama mengajarkan caranya niat dengan melafadzkan, maksudnya adalah untuk menuntun hati supaya niat dengan tegasnya hati. Bagi Ulama dan kalangan alim Niat bukanlah suatu masalah karena sangat faham dengan ilmunya. Tapi bagi kalangan awam terlebih bagi mereka yang baru mengenal Islam pada waktu itu tentu niat menjadi masalah.... Bagaimana cara niat seperti apa... mereka perlu contoh dan perlu pengajaran. Bagaimana mungkin mereka tahu contoh dan cara niat kalo tidak dilafadzkan. Tapi  melafadzkanya hanyalah sebagai penuntun Niat yg didalam hati.  Hal ini kemudian melahirkan perbedaan pendapat dan ijtihad di kalangan ulama fiqh, ada yang berpendapat bahwa niat itu perlu diucapkan meskipun hal itu tidaklah wajib, dan ada yang berkata bahwa tidak perlu mengucapkannya. Namun satu hal yang ingin ana ingin tekankan adalah ini hanyalah ijtihad, jika kalian setuju dengan melafazkan niat, maka silahkan diamalkan. Jika kalian  tidak setuju dengan melafazkan niat, maka tinggalkan.
Namum jangan sampaikan kepada kaum muslimin khususnya para aktivis dakwah dari semua kalangan dan golongan bahwa tidak perlu mempersoalkan hal ini hingga saling mencela sesama muslim, karena mempersoalkan hal-hal seperti ini dengan menyulut permusuhan dan pertentangan di kalangan kaum muslimin adalah satu di antara tanda ketidakfahaman dan kesempitan ilmu seorang dai. 

2) Bacaan Iftitah
Bacaan iftitah dalam hadits shahih sangatlah beragam, namun yang sangat terkenal adalah:

وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ.

Doa ini adalah doa yang bersumber dari hadits shahih. Sebenarnya doa ini sangat panjang, namun para ulama kita sangat bijaksana dan tidak ingin mempersulit orang-orang yang belajar shalat untuk pertama kalinya dari kalangan kaum muslimin, hingga mereka berijtihad bahwa doa iftitah sudah cukup meskipun hanya dengan lafaz di atas.
Lanjutan dari doa di atas secara lengkap adalah:

 اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ. أَنْتَ رَبِّى وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْ لِى ذُنُوبِى جَمِيعًا إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ وَاهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ ».

Doa ini berasal dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'I, Imam Ahmad, Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah, dan masih banyak lagi imam hadits yang lain melalui jalur riwayat yang disampaikan oleh Ali bin Abi Tahlib (semoga Allah merahmati mereka semuanya).

Di dalam doa iftitah yang di ajarkan di buku-buku panduan sholat diawalnya terdapat kalimat:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

Doa ini adalah doa yang bersumber dari hadits shahih. Berkaitan dengan doa ini, Imam Muslim menyebutkan dalam kitab Shahihnya sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu Umar, bahwa suatu ketika para sahabat shalat berjamaah bersama Rasulullah SAW, ketika usai takbiratul ihram, seorang laki-laki dengan suara yang agak keras membaca potongan doa di atas hingga terdengar oleh Rasulullah SAW. Setelah shalat usai, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat mengenai siapa yang membaca doa tersebut. Maka laki-laki yang membaca doa tersebut menjawab,"Aku ya Rasulullah!" Rasulullah SAW bersabda,"Aku kagum terhadap doa ini, karena pintu-pintu langit terbuka untuknya." Ibnu Umar kemudian berkata,"Sejak mendengar perkataan Rasulullah SAW tersebut, aku tidak pernah meninggalkan membacanya (dalam setiap shalat)."

Ana katakan kepada antum/antunna semua, inilah potongan doa yang kemudian disatukan dengan doa sebelumnya hingga terbentuk doa iftitah sebagaimana yang sangat dikenal di kalangan masyarakat kita saat ini dengan susunan lafaz:

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً(إني) وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ.

3) Bacaan Ruku', I`tidal (bangun dari ruku'), dan sujud
Bacaan ruku, I`tidal (bangun dari ruku'), dan sujud dalam hadits yang shahih adalah sebagai berikut:

عن حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ. ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّى بِهَا فِى رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا. ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ « سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ ». فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ». ثُمَّ قَامَ طَوِيلاً قَرِيبًا مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ « سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى ». فَكَانَ سُجُودُهُ قَرِيبًا مِنْ قِيَامِهِ. قَالَ وَفِى حَدِيثِ جَرِيرٍ مِنَ الزِّيَادَةِ فَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ ».

"Dari Abu Huzaifah, ia berkata, suatu ketika pada malam hari aku shalat bersama Rasulullah SAW, beliau membaca surat al-Baqarah (dari ayat pertama). Maka aku berkata dalam hati bahwa beliau akan ruku' pada ayat yang ke-100. Kemudian sampai pada ayat yang ke-100 beliau tetap melanjutkan bacaannya. Aku berkata dalam hati, beliau akan ruku' setelah menyelesaikannya. Setelah selesai surat al-Baqarah, beliau melanjutkan bacaannya ke surat an-Nisa, lalu ke surat Ali Imran, beliau membaca dengan bacaan yang tersambung jelas. Jika beliau melewati ayat tasbih, maka beliau bertasbih, jika melewati ayat-ayat tentang doa, beliau berdoa, dan jika melewati ayat-ayat yang perlu perlindungan, beliau memohon perlindungan. Kemudian beliau ruku' dan membaca,"Subhana rabbiyal-`Azhim." Beliau ruku' dengan lama, sebagaimana beliau berdiri. Kemudian beliau bangun dari ruku dan membaca,"Sami'allahu liman hamidah." Kemudian beliau tetap berdiri sebagaimana lamanya beliau ruku. Kemudian beliau sujud dan membaca,"Subhana rabbiyal A`la,"Beliau sujud dengan lama, sebagaimana lamanya beliau berdiri. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jarir, terdapat tambahan kalimat,"Sami`allahu liman hamidah rabbana lakalhamdu,".

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam hadits ini, ada beberapa hal yang ana garis bawahi:
·         Bacaan ruku' dan sujud hanya sekali, bukan tiga kali sebagaimana yang beredar di masyarakat kita;
·      Bacaan ruku dan sujud tidak terdapat padanya tambahan kalimat "wabihamdih", sebagaimana yang disebutkan dalam buku-buku panduan sholat yang beredar di masyarakat kita.
Melihat hal ini, mungkin akan lahir pertanyaan, bagaimanakah status hadits tentang pengucapan doa ruku' dan sujud yang masing-masing tiga kali…???

Ana katakan bahwa jawabannya adalah pengucapan doa ruku' dan sujud dengan masing-masing tiga kali juga bersumber dari hadits yang shahih. Sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Ibnu Majah:

عن حذيفة بن اليمان: - أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إذا ركع ( سبحان ربي العظيم ) ثلاث مرات وإذا سجد قال ( سبحان ربي الأعلى ) ثلاث مرات .
"Dari Hudzaifah, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW membaca ketika ruku,"Subhana rabbiyal-`Azhim' tiga kali, dan jika beliau SAW sujud, beliau membaca,"Subhana rabbiyal-A`la, tiga kali.
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam bab al-Tasbih fi al-Ruku`.

Tersisa satu pertanyaan lagi yang mungkin akan muncul dari benak kaum muslimin, yaitu bagaimanakah status tambahan kata "Wabihamdih" dalam doa ruku` dan sujud…???

Tambahan kata "wabihamdih" pada doa ruku' dan sujud dalam hadits diriwayatkan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya al-Umm, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.

 Hanya saja, ketika mengkonfirmasi riwayat tersebut ke kitab al-Umm karya Imam Syafi'i, ana menemukan bahwa Imam Syafi'i sendiri ragu terhadap keshahihan hadits ini, karena di akhir perkataanya setelah menyebutkan hadits tersebut beliau berkata,"Jika saja seandainya hadits ini kuat/shahih."

Imam Abu Dawud berkata,"Kalimat ini adalah kalimat tambahan (yang bukan bersumber dari hadits), dan kami khawatir jika kalimat ini menjadi bagian dari hafalan doa (yang dihafalkan oleh kaum muslimin)."

Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Talkhis al-Habir, menyebutkan bahwa semua hadits yang menyebutkan tambahan kata "wabihamdih" dalam ruku' dan sujud, semuanya berderajat dha`if dan tidak bisa dijadikan hujjah/dalil. Hal ini disebutkan pula oleh al-Hafiz Ibnu al-Mulaqin dalam kitabnya al-Badr al-Munir.

4) Doa I`tidal (bangun dari ruku') versi buku-buku panduan shalat

Doa bangun dari ruku' yang tertulis di banyak duku panduan shalat adalah:

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَىْءٍ بَعْدُ

Doa ini adalah doa yang bersumber dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lainnya.

Dalam riwayat yang lain, dalam kitab shahih Muslim, terdapat tambahan kalimat lain yang bersatu dengan doa di atas, yaitu: 

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَىْءٍ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.

5) Duduk antara Dua sujud

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, doa duduk di antara dua sujud adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَارْحَمْنِى وَاهْدِنِى وَعَافِنِى وَارْزُقْنِى

Dalam riwayat shahih yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah:

اللَّهُمَّ اغْفِر لي واجبرني وَعَافنِي وارزقني واهدني وَارْفَعْنِي


Dua susunan inilah yang paling shahih mengenai doa di antara dua sujud.
Kedua doa di atas kemudian dicampur dalam satu doa, sehingga melahirkan doa duduk di antara dua sujud sebagaimana yang disebutkan dalam buku-buku panduan shalat, yaitu:

اللَّهُمَّ اغْفِرلي وَارْحَمْنِى واجبرني وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِى وَاهْدِنِى وَعَافِنِى
وَاعْفُ عَنِّى

Selain itu, ada hal yang ana harus sampaikan bahwa dalam doa duduk di antara dua sujud yang dicantumkan di buku-buku panduan ibadah lengkap sebagaimana di atas, ada kalimat yang sebenarnya bukan berasal dari doa duduk di antara dua sujud, dan merupakan selipan yang tidak diketahui orang yang pertama kali menyelipkannya yaitu kata:

وَاعْفُ عَنِّى
Dalam Sunan al-Kubra, Imam al-Baihaqi menyebutkan kalimat yang satu ini memang disandingkan dengan doa di antara dua sujud, namun kemunculannya bukan pada konteks doa duduk di antara dua sujud, melainkan dalam konteks yang lain, sebagai dalam hadits berikut:

عَنِ ابْنِ أَبِى أَوْفَى قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى لاَ أُحْسِنُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ ، فَعَلِّمْنِى مَا يَجْزِينِى مِنْهُ. قَالَ :« قُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحْمُدُ لِلَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ ». فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ : هَؤُلاَءِ لِرَبِّى فَمَا لِى؟ قَالَ :« قُلِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَارْحَمْنِى ، وَاهْدِنِى وَارْزُقْنِى ، وَعَافِنِى وَاعْفُ عَنِّى ». فَلَمَّا وَلَّى الرَّجُلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« أَمَّا هَذَا فَقَدْ مَلأَ يَدَهُ مِنَ الْخَيْرِ ».
"Dari Ibnu Abi Aufa,"Suatu ketika seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata,"Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mengetahui sesuatupun tentang Al-Qur'an, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang aku bisa mendapat pahala dengannnya. Rasulullah SAW bersabda,"Bacalah, Subhanallah, walhamdulillah, wa laailahaillallah, wallahu akbar, wa laahaula walaa Quwwata Illa billah. Kemudian laki-laki tersebut pergi, lalu kembali lagi mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,"Semua ini adalah kalimat untuk Tuhanku, maka apakah bacaan untukku." Rasulullah SAW menjawab,"Bacalah, Allahummagfirli, warhamni, wahdini warzuqni, wa `Afini wa`fu'anni. Ketika laki-laki tersebut berlalu, Rasulullah SAW bersabda,"Adapun laki-laki ini, maka ia telah memenuhi kedua tangannya dengan kebaikan.  

ALANGKAH INDAHNYA JIKA CINTA KITA KEPADA ALLAH DAN ROSUL-NYA SEPERTI CINTANYA LAILA DAN MAJNUN

Sebuah Cerita kisah cinta dua sejoli yang sedang dimabuk asmara, Membangkitkan semangat luar biasa untuk mempertahankan cintanya. Mereka rel...