Rabu, 24 Februari 2021

IBADAH MAHDHOH, GHOIRU MAHDHOH DAN MUAMALAH

 

Foto : Acara Parasan mencukur rambut bayi dan memberi nama

A. Ibadah Mahdhoh

Ibadah mahdhah merupakan bentuk ibadah yang merupakan wujud penghambaan murni seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam ibadah mahdhah, seorang hamba seakan terhubung langsung dengan Tuhannya melalui serangkaian ritual ibadah sesuai dengan yang disyariatkan.

Azaznya kepatuhan dan ketaatan (ta’abbudi). Dalam Ibadah Mahdhah ini berlaku kaidah ushul fiqih :

اَلْأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ اَلتَّحْرِيْمُ وَالْبَطْلُ إِلاَّ مَا جَاءَ بِهِ الدَّ لِيْلِ عَلىَ اَوَامِرِهِ

Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan

Contoh-contoh ibadah mahdhah antara lain : Masalah-masalah ushul, seperti syahadat, shalat lima waktu, Zakat, puasa, haji dll.

Bentuk ibadah mahdhah tidak bisa dilakukan sesuka hati, namun harus sesuai dengan prinsip yang sudah ditetapkan. Ada empat prinsip yang perlu diperhatikan dan wajib dipenuhi dalam menjalankan ibadah mahdhah ini, yaitu:

1. Keberadaannya sesuai dengan dalil/ perintah dari Allah

Suatu ibadah mahdhah hanya bisa dilaksanakan jika ada perintah untuk melakukannya. Baik dalam al-Qur’an ataupun sunnah. Dan jika tidak ada dasar perintahnya, maka tidak boleh ditetapkan keberadaannya.

2. Tata cara pelaksanaannya harus sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW

Selain itu, tata cara dan pelaksanaan suatu ibadah mahdhah juga harus sesuai dengan cara ibadah tersebut dilakukan oleh rasul. Tidak diizinkan adanya improvisasi atau mengada-adakan tata cara tersendiri.

3. Sifatnya supra rasional atau di luar kemampuan akal manusia

Ibadah mahdhah bukanlah ibadah yang berada dalam lingkup akal, namun wahyu. Dalam hal ini, akal hanya berfungsi untuk memahami rahasia di balik syariat dari penerapan ibadah tersebut dan bukan untuk menetapkan keabsahannya.

4. Dilaksanakan dengan azas ketaatan

Setiap ibadah mahdhah dilaksanakan dengan azas ketaatan atau kepatuhan kepada Allah. Karena, pelaksanaan ibadah mahdhah adalah sebagai bukti ketaatan dan penghambaan seorang manusia kepada Tuhannya.

Ibadah-ibadah yang termasuk ibadah mahdhah adalah wudhu, tayammum, mandi hadats, adzan, iqamat, shalat, membaca Al-Qur’an, itikaf, puasa, haji, umrah, dan tajhiz al-Janazah.


 B. Ibadah Ghairu Mahdhoh

Ibadah ghairu mahdhah ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah yang tata cara dan perincian-perinciannya tidak ditetapkan dengan jelas. Dengan prinsip : Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan. Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau mudharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, itu buruk, merugikan dan mudharat, maka tidak boleh dilaksanakan. Azasnya Manfaat, selama itu bermanfaat maka boleh dilakukan. Dalam ibadah ghairu mahdhah, jangan bertanya mana dalil yang memerintahkannya. Tapi tanyakan dalil mana yang melarangnya? Dalam Ibadah ini berlaku kaidah ushul fiqih :

اَلْأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya segala sesuatu itu hukumnya diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya

Contoh-contoh ibadah ghairu mahdhah antara lain : Masalah-masalah furu’, seperti shalat subuh dengan qunut atau tidak, dzikir, dakwah, tolong menolong dll.

Jika dalam ibadah mahdhah yang bersifat ta’abbudi tidak boleh ada improvisasi, maka dalam ibadah ghairu mahdhah ini justru terbuka lebar terhadap inovasi. Tidak ada bid’ah (kullu bid’atin dlalalah) dalam ibadah ghairu mahdhah.

Ibadah ghairu mahdhah adalah seluruh amal manusia yang dinilai ibadah karena niat dan sebab (illat) nya. Illat adalah faktor yang menentukan hukum, dalam kaidah ushul fiqih :

اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وَسَبَبِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمُا

Ada dan tidaknya hukum itu tergantung pada sebab (illat) nya.

Ukuran illat adalah maslahat-mudharat. karena itu berlaku kaidah niat dan illat. Jika niatnya jelek dan menimbulkan mudharat, nilai ibadahnya bisa kurang atau hilang sama sekali. Tetapi jika niatnya bagus dan menimbulkan maslahat (baik secara personal maupun sosial), hukumnya sunnah, bernilai ibadah tinggi. Sebahai contoh memakai jubah dan sorban jika niatnya mengikuti Rasulullah bisa bernilai ibadah. Jika murni karena budaya, hukumnya mubah. Tetapi, jika niatnya pamer keshalehan dan dampaknya ujub personal, hukumnya haram karena nilai ibadahnya hilang sama sekali.


C. Ibadah Muamalah

Sesuai dengan namanya, ibadah muamalah adalah ibadah yang dilakukan dalam bentuk menjaga hubungan sesama manusia yang tidak menyalahi aturan Allah. Secara umum, prinsip dalam ibadah muamalah adalah sebagai berikut:

  1. Tidak melakukan jual beli barang yang haram
  2. Tidak menipu ataupun memanipulasi takaran, timbangan, dan kualitas barang
  3. Tidak melakukan suap, sogok, atau risywah
  4. Tidak melakukan kegiatan riba, termasuk bunga

Itulah perbedaan ibadah mahdhah, ghoiru mahdhah dan ibadah muamalah. Pada dasarnya, setiap ibadah mahdhah adalah dilarang kecuali yang diperintahkan oleh Allah SWT, sedangkan setiap ibadah muamalah adalah boleh kecuali yang dilarang oleh Allah SWT.

Minggu, 21 Februari 2021

BIOGRAFI KH. MOCHAMAD BADRI

 


Tulisan ini meraih juara ke 2 pada acara Harlah NU ke 95/ 98 PAC Kab. Kebumen


Dihadiri Bupati Kebumen, Ketua DPRD Kebumen, Mantan Bupati Kebumen KH. Nasirudin, Kapolres, Kepala Pengadialan Agama, Ketua Tanfidiyah NU Kebumen, Para Ulama dan Tokoh Masyarakat.




BIOGRAFI

KH. MOCHAMAD BADRI

DALAM SEJARAH BERDIRINYA MASJID DARUSSALAM SITIREJO

Oleh : Mustolih Hakim




KH. MOCHAMMAD BADRI / BADRURROHMAN
Sitirejo, Klirong, Kebumen, Jawa Tengah



Pada sekitar tahun 1908 Lahirlah seorang anak laki laki di dukuh Jalasida, Gadungrejo, Klirong, Kebumen, yang diberi nama Mochamad Badri. Bapaknya bernama Dulkodir adalah seorang petani dan kyai kampung. Lahir sebagai anak pertama yang sangat diharapkan oleh orang tuanya untuk menuntut ilmu agama. Sejak masih kecil sudah dititipkan dipondok untuk belajar ngaji, mulai dari pondok-pondok lokal diwilayah Kebumen, seperti di Pondok Lirap Kecamatan Petanahan, pondok Pekeyongan Podoluhur Klirong Kebumen dan lain lain. Setelah menamatkan ngaji diniyah dan nahwu Ia pun meneruskan mondok di Pesugihan Cilacap Jawa tengah.

Semakin dewasa, keinginanya belajar ilmu agama semakin besar, semangat belajarnya yang tinggi diturunkan dari kakeknya yaitu KH. Sujangi, yang mondok dan ngaji pada seorang guru yang memiliki karomah. Kakeknya KH. Sujangi waktu mondok terkenal suka mencuri sisa air minum (wedang teh) sisa gurunya dan diminumnya. Jika gurunya mandi Beliau suka membuntuti sampai ke samping kulah (kamar mandi) dekat dengan selokan pembuangan air (paceran). Dan Ia pun menampung air sisa mandi gurunya di saluran pembuangan (paceran) bahkan kadang airnya bercampur kotoran lumpur. Tapi Beliau KH. Sujangi menganggap bahwa air itu mengandung barokah. Sehingga air sisa mandi gurunya yang Ia tampung digunakan untuk mandi. Hal seperti itu dilakukannya secara rutin selama Ia mondok, tanpa sepengetahuan gurunya. Namun lama kelamaan kebiasaan ini diketahui teman teman pondoknya. Dan akhirnya dari desas desus tersebut terdengarlah sampai ke telinga gurunya (Romo Kyai). Melihat muridnya melakukan hal semacam itu, Beliau pun meridhoi perbuatanya sehingga menjadi berkah.

Pada suatu hari dimusim panen Gurunya memanggil Sujangi dan memberikan tugas pada muridnya yang nyeleneh itu. “Jangi…” panggil gurunya. “Kamu nanti malam jaga padi di sawah pinggir Desa, padi padi yang baru dipanen masih menumpuk dipinggir jalan, belum sempat dibawa pulang. Kamu jaga disana, bawalah tujuh batu kerikil ini”. Perintah gurunya. Sujangi antara bingung dan takut karena selama ini, yang diperintah jaga adalah para senior yang sudah belajar ilmu hikmah. Karena kebiasaan di daerah tersebut jika ada padi di sawah atau di pinggir pinggir jalan biasanya mengundang para maling dan rampok untuk menggasaknya. Tanpa berani bertanya apa apa santri ini menganggukan kepala dan sendiko dawuh atas perintah gurunya. tujuh batu yang diberikan oleh gurunya tanpa tahu apa maksudnya di masukan kantong celananya. Ketika hari mulai petang berangkatlah Sujangi menuju ketempat dimana padi padi itu diletakan. Hasil panen dari sawah sawah gurunya itu jika dimuat dengan gerobak pedati bisa sampai tujuh gerobak.

Sesekali Sujangi berkeliling  diantara tumpukan tumpukan padi. Hingga masuk ‘isya, selesai sholat Ia pun berjaga jaga dengan rasa was was dan takut. Tak lama kemudian sayup sayup terdengarlah suara Langkah kaki sapi dan suara roda roda pedati. Sujangi pun sembunyi dan mengawasi arah suara tersebut. Semakin lama suara itu semakin jelas dan akhirnya nampaklah serombongan pedati yang ditarik sapi berjumlah tujuh gerobak. Dalam pikiran Sujangi “jangan jangan ini adalah gerombolan perampok yang akan membawa padi padi milik gurunya”. Dan benar juga rombongan pedati itu berhenti di samping tumpukan tumpukan padi yang baru dipanen. Mereka mulai mengangkut padi padi itu dan memasukannya kedalam gerobak pedati. Sujangi memperhatikan dalam kegelapan malam diantara semak semak sambil berfikir bagaimana cara menghentikan pencurian padi milik gurunya itu. Untuk melawan para maling itu jelas tidak mungkin pikirnya, karena kecuali orangnya banyak, mereka pun membawa senjata tajam. Kemudian Ia teringat akan batu kerikil berjumlah tujuh buah, dan gerobak pedati milik pencuri pencuri itu juga ternyata berjumlah tujuh.

Sementara gerobak gerobak pencuri itu satu persatu mulai dipenuhi dengan padi padi curian dan mulai beranjak jalan. Dengan bekal tujuh batu kerikil dari gurunya itu Sujangi mulai menemukan ide untuk mencobanya berikhtiar dengan memasukan batu itu satu satu ke semua gerobak pencuri. Dimulai dari gerobak yang paling belakang, Sujangi membuntuti dengan merunduk runduk dan melemparkan batu itu ke dalam gerobak pedati. Tak disangka dan tak diduga tiba tiba as roda gerobak itu patah. Sujangi lari ke arah depanya dengan merunduk runduk dalam kegelapan malam dan melemparkan batu berikutnya ke gerobak di depannya. Sama seperti kejadian sebelumnya, bahwa gerobak tersebut pun patah as rodanya dan ambruk bersama sapinya yang tak kuat menahan berat. Hal itu dilakukan sampai ke tujuh pedati milik pencuri padi itu ambruk, hingga para pencuri panik. Karena semua gerobaknya berjumlah tujuh buah patah semua as rodanya.

Setelah semua gerobak ambruk dan sapi sapinya roboh, Sujangi lari menuju ke pinggir desa sambil teriak teriak “maliing padiii…. Maliing padi…. Maliing padi….” Teriakan Sujangi itu mengagetkan warga sehingga semua warga keluar rumah sambil membawa pentungan. Mendengar teriakan dan kedatangan rombongan warga, para pencuri ini tambah panik dan berlarian tanpa arah. Sehingga ketujuh gerobak dan sapi sapi penariknya dibiarkan di jalanan. Sujangi dan warga pun berjaga sampai pagi menjelang. Sehabis subuh Sujangi melaporkan kejadian itu pada gurunya. Dibantu santri santri yang lain pedati pedati dan sapinya diamankan ke pondok, dan padinya diangkut ke lumbung. Padi padi milik Romo Kyai tidak jadi hilang, malah beruntung, mendapatkan tujuh sapi sapi besar dan tujuh gerobak pedati, semua itu digunakan untuk pembangunan pondok dan untuk membiayai santri santrinya dalam menuntut ilmu dipondok tersebut. Dengan kejadian tersebut Sujangi menjadi terkenal dikalangan santri santri yang lain. Dianggap sebagai santri sakti yang bisa mengalahkan rombongan pencuri yang jumlahnya tidak sedikit, karena selalu meminum air teh sisa gurunya, dan selalu mandi dengan sisa air mandi gurunya. Sejak itu sisa air minum dan sisa air mandi gurunya menjadi rebutan para santri.

KH. Sujangi mempunyai adik bernama KH. Syafi’i (Logede) yaitu kakek mbah nyai istri KH. Nawawi Pondok Pesantren Karangglonggong, Klirong. Sementara KH. Sujangi adalah kakek dari KH. Mochamad Badri Sitirejo.

Setelah menamatkan mondoknya di Pesugihan, KH. Mochamad Badri melanjutkan mondok ke Jawa Timur, Hampir semua pondok pondok besar di jawa timur waktu itu pernah Ia singgahi. Tapi yang paling lama adalah di Pondok Pesantren Benda Pare Kediri. KH. Mochammad Badri menghabiskan sebagian umurnya sekitar 30 tahun untuk mondok, dari pondok satu ke pondok yang lainya sejak masih kecil. Sepulang mondok Beliau mendirikan pondok kecil kecilan di dukuh Jalasida.

Sementara di Desa Sitirejo ada seorang Saudagar kopra bernama H.Abu Bakar (waktu itu belum haji). Abu Bakar mempunyai lima orang anak perempuan dan dua anak laki laki. Diantara anak anaknya adalah : 1. Nini dongkol (orang tua Bpk. Sabar Rusdi/ kakek dari Bpk Ayub) 2. Nini Jemilah 3. Nini Supi 4. Kaki Jemasa 5.Sairah 6. Sumiati 7. H. Ghozali (Mantan Kepala Desa Sitirejo).

Pada suatu hari Nyai Abu bakar pergi ke pasar Petanahan. Seperti biasanya kecuali untuk kepentingan usahanya Ia pun senang melihat lihat suasana pasar. Pada waktu itu disudut pasar ada kerumunan orang, Ia pun penasaran dengan kerumunan tersebut, setelah ditengok ternyata seorang tukang ramal dengan media kartu dan burung. Setiap orang yang ingin diramal maka harus membayar dengan jumlah tertentu. Setelah membayar maka tukang ramal itu akan meletakan seekor burung pada tumpukan kartu. Lalu burung itupun dengan paruhnya mengambil salah satu kartu, didalam kartu itulah letak ramalannya. Iseng iseng Iapun tertarik untuk meramal nasibnya. Kemudian Ia membayar si tukang ramal dengan memintanya tiga kartu sekaligus. Setelah itu burung milik peramal itupun mengambil kartu dengan paruhnya satu persatu hingga tiga kartu. Kemudian si peramal memberikan kartu tersebut kepada Nyai Abu Bakar. Setelah dibuka dan dilihat ternyata kartu itu yang satu bergambar Masjidil Haram, yang kedua gambar Masjid Nabawi, dan yang ketiga gambar Masjid kampung seperti masjid masjid yang ada di jawa. Nyai Abu Bakar pun bingung dan heran apa ini maksudnya pikirnya dalam hati. Kemudian Ia pun menanyakan pada si tukang ramal, “Apa ini maksudnya, kenapa ramalanya hasilnya hanya seperti ini?” Si tukang ramal malah tersenyum. Kemudian menerangkan perihal gambar yang ada di kartu tersebut. “Kartu yang pertama bergambar Masjidil Haram itu tandanya bahwa sampean akan pergi Haji.” Mendengar penjelasan  si tukang ramal Nyai Abu Bakar tercengang dan berkata, “Saya ini tidak bisa ngaji dan tidak pernah berfikiran ingin berhaji, bagaimana mungkin saya akan pergi naik haji?” Mendengar perkataan itu si peramal pun menjawab, “Kenyataanya kartunya seperti itu, jadi itulah ramalanya”. Nyai Abu Bakar menyodorkan lagi kartu yang kedua yang bergambar Masjid Nabawi, sambil bertanya, “Lah kalau ini maksudnya apa?” Si peramal melihat kartunya sambil tersenyum. “Oooh kalo ini gambar Masjid Nabawi, tidak lama lagi sampean juga akan berkunjung ke tempat ini di Madinah”. Mendengar jawaban si peramal Nyai Abu Bakar tambah heran. “Sampean jangan mengada ada dengan ramalan ini, mana mungkin saya pergi kesana. Saya ini bukan ahli agama, saya ini tidak pernah mondok, tidak pandai ilmu agama”. Si Peramal tersenyum dan berkata “yah itulah kenyataanya”. Kemudian Kartu yang terakhirpun disodorkanya sambil berkata, “Kalau yang ini apa?” Si peramal menerangkan bahwa “itu adalah gambar masjid di kampung kampung. Pada suatu saat nanti sampean akan membangun masjid seperti ini”. Dengan rasa heran dan setengah tidak percaya, Nyai Abu Bakarpun meninggalkan si peramal.

Sepulang dari pasar Nyai Abu Bakar menceritakan semuanya tentang peramal di pasar Petanahan, yang meramalkanya akan naik Haji. Abu Bakar hanya tersenyum dan menganggapnya sebagai hal yang biasa dilakukan peramal kelas pasar untuk mencari nafkah. Namun tidak bagi istrinya, sejak kejadian itu Ia selalu terpikirkan, dan menjadi angan angan yang selalu muncul setiap saat. Akhirnya Ia pun berkeinginan untuk memondokan anaknya yang laki laki yaitu Achmad Ghozali, agar bisa mengetahui lebih dalam tentang agama dan ibadah haji seperti yang dikatakan peramal. Setelah berembug dengan suaminya, Abu Bakarpun menyetujui. Tapi mereka bingung harus mondok kemana dan ikut siapa. Sebelum memondokan Ghozali Abu Bakar berkeinginan menitipkan anak perempuanya yang bernama Sumiati yang sudah menikah tapi pernikahanya tidak harmonis dan sudah lama pisah ranjang, kepada Haji Ilyas di Jatimalang. Saat mengantar Sumiati ngaji pada  H. Ilyas Abu Bakar mengatakan niatnya ingin memondokan anaknya yaitu Ahmad Ghozali dan minta saranya kemana anaknya harus mondok. Haji Ilyas kemudian memberikan saran saranya kepada Abu Bakar. “Jika sampean ingin memondokan anaknya, lebih baik temui Mochamad Badri, Ia adalah seorang pemuda yang giat dalam mencari ilmu sudah mondok kemana mana. Dia lebih tahu tahapan tahapan mondoknya harus kemana dulu”. Mendengar penjelasan H. Ilyas, tanpa pikir panjang Abu Bakar langsung menemui Mochammad Badri di dukuh Jalasida. Setelah mengutarakan maksud dan tujuanya, Mochammad Badri pun menerima tawaran itu. Tidak menunggu lama Abu Bakar dan istrinya mempersiapkan segala perbekalannya untuk berangkat mondok. Tahapan awal Ia diantar untuk mondok di Pondok yang dekat dekat dulu yaitu di Pondok Pesantren Pekeyongan. Kemudian mengikuti jejaknya setelah dari pekeyongan dibawa ke Pesugihan Cilacap.

Sementara Sumiyati yang mengaji pada Haji Ilyas, karena anaknya nurut dan mudah faham setiap yang diajarkanya, Haji Ilyas pun mengangkatnya sebagai anak. Setelah beberapa tahun tinggal dan ngaji di rumah Haji Ilyas, dan sudah lama berpisah dengan suaminya. Haji Ilyas menyarankan untuk bercerai saja, karena suami sudah tidak pernah menjenguk, tidak pernah memberi nafkah lahir batin. Haji Ilyas selalu menasehati sumiati, “Sum.. kamu ini cantik, pinter ngaji, sementara suamimu tidak pernah raup, tidak ngerti agama, tidak bertanggung jawab sama kamu. Bagaimana bisa Ia membimbing kamu? Karena suami adalah imam mu. Apa tidak lebih baik kalian bercerai saja, ini demi kebaikan dan masa depanmu. Walaupun perceraian itu tidak baik. Tapi lebih tidak baik jika suamimu tidak bisa menjadi imam mu, yang seharusnya menuntunmu ke surga-Nya”. Akhirnya Sumiati pun menuruti saran gurunya yang juga bapak angkatnya. Beberapa waktu kemudian resmilah Ia menjadi seorang janda.

Beberapa tahun kemudian selesailah Mochamad Badri dalam mendampingi Achmad  Ghozali mondok, karena Ia tidak mau mondok terlalu lama, Ia merasa sudah cukup bekal untuk ibadah dan membimbing keluarganya kelak. Akhirnya Mochamad Badri menyerahkan Achmad Ghozali kepada Abu Bakar. Abu Bakar dan suaminya sangat berterima kasih kepada Mochammad Badri karena anaknya kini menjadi rajin ibadah dan pandai agama. Dan anak perempuanya yang sedang ngaji pada Haji Ilyas pun kini telah menguasai beberapa kitab fiqih. Melihat anak perempuanya yang kini statusnya seorang janda, dan melihat Mochammad Badri adalah seorang pemuda yang masih lajang. Abu Bakar dan istrinya pun ingin menjodohkan anaknya dengan Mochammad Badri.

Pada suatu hari Abu Bakar mengundang Mochammad Badri kerumahnya, untuk sekedar ngobrol sambil minum kopi. Hingga akhirnya pada puncak perbincangan Abu Bakar dan istrinya menawarkan kapada Mochammad Badri untuk menikah dengan sumiati anaknya. Singkat cerita Mochammad Badri bersedia asal sumiati juga bersedia tanpa pemaksaan. Mendengar hal itu Abu Bakar dan istrinya sangat senang begitu juga Haji Ilyas sangat gembira dan sangat mendukung. Akhirnya keduanya pun dinikahkan. Setelah menikah mereka tinggal di Jalasida membangun pondok dan mengajarkan pemuda pemudi sekitar untuk mengkaji ilmu agama. Abu Bakar dan istrinya sangat senang karena anak anaknya dan menantunya adalah orang-orang yang mengerti agama. Karena pada saat itu ilmu agama masih sangat sedikit di pelajari orang. Dan masjid masjid masih sangat jarang. Karena anak anaknya sudah mondok dan belajar agama, maka terpikirkan oleh Abu Bakar dan istrinya untuk ikut mendalami ilmu agama dari anak anak dan menantunya. Setelah memahami ilmu tauhid dan fiqih dan belajar manasik haji, merekapun berkeinginan untuk pergi haji ke Baitulloh. Dengan bimbingan menantunya akhirnya merekapun pergi Haji. Berkunjung ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Nyai Abu Bakar tersenyum bila mengingat seorang peramal di Pasar Petanahan beberapa tahun lalu yang menjadi kenyataan.

Sepulang dari ibadah Haji, Abu Bakar berembug dengan menantunya yaitu Mochammad Badri untuk menyampaikan keinginannya membangun Masjid di samping rumahnya. Dan memohon pada Mochammad Badri dan istrinya untuk tinggal bersamanya serta menjadi imam di Masjid yang Ia bangun, karena Achmad Ghozali lebih tertarih ketika ditawari menjadi Lurah. Akhirnya dibangunlah Masjid di pekarangan samping rumah sebelah depan, di tanah bekas kandang kuda dan garasi gerobak. Setelah masjid selesai dibangun, H. Abu Bakar memberi amanat agar  Mochammad Badri menjadi imam di Masjid tersebut. Lalu dipindahlah pondok pondok panggung yang ada di jalasida ke samping samping Masjid yang baru dibangun. Santri santrinya pun ikut boyong ke Masjid baru di sitirejo itu. Yang kemudian Masjidnya diberi nama Masjid Darussalam. Walaupun yang jama’ah dan ngaji di Masjid itu terbilang sangat ramai, namun pada perkembanganya ditempat yang baru itu pondoknya justru malah kurang berkembang.

Dari pernikahannya antara Hj. Sumiyati dan KH. Mochammad Badri dikaruniai seorang anak laki laki yaitu KH. Kastolani. KH. Kastolani kemudian menikah dengan Hj. Siti Maemunah seorang janda, putri dari KH. Nawawi Pengasuh Pondok Karangglonggong. Ibunya yaitu Hj Nyai Nawawi adalah cucu dari KH. Syafi’i adik dari KH. Sujangi.

Disaat masa tuanya Nyai Hj Abu Bakar saat berkumpul bersama keluarga sering bercerita sambil tertawa, mengenai seorang peramal di pasar yang tanpa terpikirkan olehnya kalau ternyata semua ramalanya menjadi kenyataan, yaitu melaksanakan ibadah haji, dan membangun masjid yang dulu masih dianggapnya mustahil.

 

Penulis : Mustolihakim

Berdasarkar cerita dari :

Simbah KH, Mochammad Badri (Alm)

Simbah Nyai Sumiati (Almh)

Bpk KH. Kastolani (Alm)

ALANGKAH INDAHNYA JIKA CINTA KITA KEPADA ALLAH DAN ROSUL-NYA SEPERTI CINTANYA LAILA DAN MAJNUN

Sebuah Cerita kisah cinta dua sejoli yang sedang dimabuk asmara, Membangkitkan semangat luar biasa untuk mempertahankan cintanya. Mereka rel...