Tulisan ini meraih juara ke 2 pada acara Harlah NU ke 95/ 98 PAC Kab. Kebumen
Dihadiri Bupati Kebumen, Ketua DPRD Kebumen, Mantan Bupati Kebumen KH. Nasirudin, Kapolres, Kepala Pengadialan Agama, Ketua Tanfidiyah NU Kebumen, Para Ulama dan Tokoh Masyarakat.
BIOGRAFI
KH. MOCHAMAD BADRI
DALAM SEJARAH
BERDIRINYA MASJID DARUSSALAM SITIREJO
Oleh : Mustolih
Hakim
KH. MOCHAMMAD BADRI / BADRURROHMAN
Sitirejo, Klirong, Kebumen, Jawa Tengah
Pada sekitar tahun 1908 Lahirlah seorang
anak laki laki di dukuh Jalasida, Gadungrejo, Klirong, Kebumen, yang diberi
nama Mochamad Badri. Bapaknya bernama Dulkodir adalah seorang petani dan kyai
kampung. Lahir sebagai anak pertama yang sangat diharapkan oleh orang tuanya
untuk menuntut ilmu agama. Sejak masih kecil sudah dititipkan dipondok untuk
belajar ngaji, mulai dari pondok-pondok lokal diwilayah Kebumen, seperti di Pondok
Lirap Kecamatan Petanahan, pondok Pekeyongan Podoluhur Klirong Kebumen dan lain
lain. Setelah menamatkan ngaji diniyah dan nahwu Ia pun meneruskan mondok di
Pesugihan Cilacap Jawa tengah.
Semakin dewasa, keinginanya belajar ilmu
agama semakin besar, semangat belajarnya yang tinggi diturunkan dari kakeknya
yaitu KH. Sujangi, yang mondok dan ngaji pada seorang guru yang memiliki
karomah. Kakeknya KH. Sujangi waktu mondok terkenal suka mencuri sisa air minum
(wedang teh) sisa gurunya dan diminumnya. Jika gurunya mandi Beliau suka
membuntuti sampai ke samping kulah (kamar mandi) dekat dengan selokan
pembuangan air (paceran). Dan Ia pun menampung air sisa mandi gurunya di
saluran pembuangan (paceran) bahkan kadang airnya bercampur kotoran lumpur.
Tapi Beliau KH. Sujangi menganggap bahwa air itu mengandung barokah. Sehingga
air sisa mandi gurunya yang Ia tampung digunakan untuk mandi. Hal seperti itu dilakukannya
secara rutin selama Ia mondok, tanpa sepengetahuan gurunya. Namun lama kelamaan
kebiasaan ini diketahui teman teman pondoknya. Dan akhirnya dari desas desus
tersebut terdengarlah sampai ke telinga gurunya (Romo Kyai). Melihat muridnya
melakukan hal semacam itu, Beliau pun meridhoi perbuatanya sehingga menjadi
berkah.
Pada suatu hari dimusim panen Gurunya
memanggil Sujangi dan memberikan tugas pada muridnya yang nyeleneh itu. “Jangi…”
panggil gurunya. “Kamu nanti malam jaga padi di sawah pinggir Desa, padi padi
yang baru dipanen masih menumpuk dipinggir jalan, belum sempat dibawa pulang. Kamu
jaga disana, bawalah tujuh batu kerikil ini”. Perintah gurunya. Sujangi antara
bingung dan takut karena selama ini, yang diperintah jaga adalah para senior
yang sudah belajar ilmu hikmah. Karena kebiasaan di daerah tersebut jika ada
padi di sawah atau di pinggir pinggir jalan biasanya mengundang para maling dan
rampok untuk menggasaknya. Tanpa berani bertanya apa apa santri ini
menganggukan kepala dan sendiko dawuh atas perintah gurunya. tujuh batu yang
diberikan oleh gurunya tanpa tahu apa maksudnya di masukan kantong celananya. Ketika
hari mulai petang berangkatlah Sujangi menuju ketempat dimana padi padi itu
diletakan. Hasil panen dari sawah sawah gurunya itu jika dimuat dengan gerobak pedati
bisa sampai tujuh gerobak.
Sesekali Sujangi berkeliling diantara tumpukan tumpukan padi. Hingga masuk
‘isya, selesai sholat Ia pun berjaga jaga dengan rasa was was dan takut. Tak
lama kemudian sayup sayup terdengarlah suara Langkah kaki sapi dan suara roda
roda pedati. Sujangi pun sembunyi dan mengawasi arah suara tersebut. Semakin
lama suara itu semakin jelas dan akhirnya nampaklah serombongan pedati yang
ditarik sapi berjumlah tujuh gerobak. Dalam pikiran Sujangi “jangan jangan ini adalah
gerombolan perampok yang akan membawa padi padi milik gurunya”. Dan benar juga rombongan
pedati itu berhenti di samping tumpukan tumpukan padi yang baru dipanen. Mereka
mulai mengangkut padi padi itu dan memasukannya kedalam gerobak pedati. Sujangi
memperhatikan dalam kegelapan malam diantara semak semak sambil berfikir
bagaimana cara menghentikan pencurian padi milik gurunya itu. Untuk melawan
para maling itu jelas tidak mungkin pikirnya, karena kecuali orangnya banyak,
mereka pun membawa senjata tajam. Kemudian Ia teringat akan batu kerikil
berjumlah tujuh buah, dan gerobak pedati milik pencuri pencuri itu juga
ternyata berjumlah tujuh.
Sementara gerobak gerobak pencuri itu satu
persatu mulai dipenuhi dengan padi padi curian dan mulai beranjak jalan. Dengan
bekal tujuh batu kerikil dari gurunya itu Sujangi mulai menemukan ide untuk
mencobanya berikhtiar dengan memasukan batu itu satu satu ke semua gerobak
pencuri. Dimulai dari gerobak yang paling belakang, Sujangi membuntuti dengan
merunduk runduk dan melemparkan batu itu ke dalam gerobak pedati. Tak disangka
dan tak diduga tiba tiba as roda gerobak itu patah. Sujangi lari ke arah
depanya dengan merunduk runduk dalam kegelapan malam dan melemparkan batu
berikutnya ke gerobak di depannya. Sama seperti kejadian sebelumnya, bahwa
gerobak tersebut pun patah as rodanya dan ambruk bersama sapinya yang tak kuat
menahan berat. Hal itu dilakukan sampai ke tujuh pedati milik pencuri padi itu
ambruk, hingga para pencuri panik. Karena semua gerobaknya berjumlah tujuh buah
patah semua as rodanya.
Setelah semua gerobak ambruk dan sapi
sapinya roboh, Sujangi lari menuju ke pinggir desa sambil teriak teriak
“maliing padiii…. Maliing padi…. Maliing padi….” Teriakan Sujangi itu mengagetkan
warga sehingga semua warga keluar rumah sambil membawa pentungan. Mendengar
teriakan dan kedatangan rombongan warga, para pencuri ini tambah panik dan
berlarian tanpa arah. Sehingga ketujuh gerobak dan sapi sapi penariknya
dibiarkan di jalanan. Sujangi dan warga pun berjaga sampai pagi menjelang. Sehabis
subuh Sujangi melaporkan kejadian itu pada gurunya. Dibantu santri santri yang
lain pedati pedati dan sapinya diamankan ke pondok, dan padinya diangkut ke
lumbung. Padi padi milik Romo Kyai tidak jadi hilang, malah beruntung, mendapatkan
tujuh sapi sapi besar dan tujuh gerobak pedati, semua itu digunakan untuk
pembangunan pondok dan untuk membiayai santri santrinya dalam menuntut ilmu
dipondok tersebut. Dengan kejadian tersebut Sujangi menjadi terkenal dikalangan
santri santri yang lain. Dianggap sebagai santri sakti yang bisa mengalahkan
rombongan pencuri yang jumlahnya tidak sedikit, karena selalu meminum air teh
sisa gurunya, dan selalu mandi dengan sisa air mandi gurunya. Sejak itu sisa
air minum dan sisa air mandi gurunya menjadi rebutan para santri.
KH. Sujangi mempunyai adik bernama KH.
Syafi’i (Logede) yaitu kakek mbah nyai istri KH. Nawawi Pondok Pesantren Karangglonggong,
Klirong. Sementara KH. Sujangi adalah kakek dari KH. Mochamad Badri Sitirejo.
Setelah menamatkan mondoknya di Pesugihan,
KH. Mochamad Badri melanjutkan mondok ke Jawa Timur, Hampir semua pondok pondok
besar di jawa timur waktu itu pernah Ia singgahi. Tapi yang paling lama adalah
di Pondok Pesantren Benda Pare Kediri. KH. Mochammad Badri menghabiskan sebagian
umurnya sekitar 30 tahun untuk mondok, dari pondok satu ke pondok yang lainya
sejak masih kecil. Sepulang mondok Beliau mendirikan pondok kecil kecilan di
dukuh Jalasida.
Sementara di Desa Sitirejo ada seorang Saudagar
kopra bernama H.Abu Bakar (waktu itu belum haji). Abu Bakar mempunyai lima orang
anak perempuan dan dua anak laki laki. Diantara anak anaknya adalah : 1. Nini
dongkol (orang tua Bpk. Sabar Rusdi/ kakek dari Bpk Ayub) 2. Nini Jemilah 3. Nini
Supi 4. Kaki Jemasa 5.Sairah 6. Sumiati 7. H. Ghozali (Mantan Kepala Desa Sitirejo).
Pada suatu hari Nyai Abu bakar pergi ke
pasar Petanahan. Seperti biasanya kecuali untuk kepentingan usahanya Ia pun senang
melihat lihat suasana pasar. Pada waktu itu disudut pasar ada kerumunan orang,
Ia pun penasaran dengan kerumunan tersebut, setelah ditengok ternyata seorang
tukang ramal dengan media kartu dan burung. Setiap orang yang ingin diramal
maka harus membayar dengan jumlah tertentu. Setelah membayar maka tukang ramal
itu akan meletakan seekor burung pada tumpukan kartu. Lalu burung itupun dengan
paruhnya mengambil salah satu kartu, didalam kartu itulah letak ramalannya.
Iseng iseng Iapun tertarik untuk meramal nasibnya. Kemudian Ia membayar si
tukang ramal dengan memintanya tiga kartu sekaligus. Setelah itu burung milik
peramal itupun mengambil kartu dengan paruhnya satu persatu hingga tiga kartu.
Kemudian si peramal memberikan kartu tersebut kepada Nyai Abu Bakar. Setelah dibuka
dan dilihat ternyata kartu itu yang satu bergambar Masjidil Haram, yang kedua
gambar Masjid Nabawi, dan yang ketiga gambar Masjid kampung seperti masjid
masjid yang ada di jawa. Nyai Abu Bakar pun bingung dan heran apa ini maksudnya
pikirnya dalam hati. Kemudian Ia pun menanyakan pada si tukang ramal, “Apa ini
maksudnya, kenapa ramalanya hasilnya hanya seperti ini?” Si tukang ramal malah
tersenyum. Kemudian menerangkan perihal gambar yang ada di kartu tersebut. “Kartu
yang pertama bergambar Masjidil Haram itu tandanya bahwa sampean akan pergi
Haji.” Mendengar penjelasan si tukang
ramal Nyai Abu Bakar tercengang dan berkata, “Saya ini tidak bisa ngaji dan
tidak pernah berfikiran ingin berhaji, bagaimana mungkin saya akan pergi naik
haji?” Mendengar perkataan itu si peramal pun menjawab, “Kenyataanya kartunya
seperti itu, jadi itulah ramalanya”. Nyai Abu Bakar menyodorkan lagi kartu yang
kedua yang bergambar Masjid Nabawi, sambil bertanya, “Lah kalau ini maksudnya
apa?” Si peramal melihat kartunya sambil tersenyum. “Oooh kalo ini gambar
Masjid Nabawi, tidak lama lagi sampean juga akan berkunjung ke tempat ini di
Madinah”. Mendengar jawaban si peramal Nyai Abu Bakar tambah heran. “Sampean
jangan mengada ada dengan ramalan ini, mana mungkin saya pergi kesana. Saya ini
bukan ahli agama, saya ini tidak pernah mondok, tidak pandai ilmu agama”. Si
Peramal tersenyum dan berkata “yah itulah kenyataanya”. Kemudian Kartu yang
terakhirpun disodorkanya sambil berkata, “Kalau yang ini apa?” Si peramal
menerangkan bahwa “itu adalah gambar masjid di kampung kampung. Pada suatu saat
nanti sampean akan membangun masjid seperti ini”. Dengan rasa heran dan
setengah tidak percaya, Nyai Abu Bakarpun meninggalkan si peramal.
Sepulang dari pasar Nyai Abu Bakar
menceritakan semuanya tentang peramal di pasar Petanahan, yang meramalkanya
akan naik Haji. Abu Bakar hanya tersenyum dan menganggapnya sebagai hal yang
biasa dilakukan peramal kelas pasar untuk mencari nafkah. Namun tidak bagi
istrinya, sejak kejadian itu Ia selalu terpikirkan, dan menjadi angan angan
yang selalu muncul setiap saat. Akhirnya Ia pun berkeinginan untuk memondokan
anaknya yang laki laki yaitu Achmad Ghozali, agar bisa mengetahui lebih dalam
tentang agama dan ibadah haji seperti yang dikatakan peramal. Setelah berembug
dengan suaminya, Abu Bakarpun menyetujui. Tapi mereka bingung harus mondok
kemana dan ikut siapa. Sebelum memondokan Ghozali Abu Bakar berkeinginan
menitipkan anak perempuanya yang bernama Sumiati yang sudah menikah tapi
pernikahanya tidak harmonis dan sudah lama pisah ranjang, kepada Haji Ilyas di
Jatimalang. Saat mengantar Sumiati ngaji pada H. Ilyas Abu Bakar mengatakan niatnya ingin
memondokan anaknya yaitu Ahmad Ghozali dan minta saranya kemana anaknya harus
mondok. Haji Ilyas kemudian memberikan saran saranya kepada Abu Bakar. “Jika
sampean ingin memondokan anaknya, lebih baik temui Mochamad Badri, Ia adalah
seorang pemuda yang giat dalam mencari ilmu sudah mondok kemana mana. Dia lebih
tahu tahapan tahapan mondoknya harus kemana dulu”. Mendengar penjelasan H.
Ilyas, tanpa pikir panjang Abu Bakar langsung menemui Mochammad Badri di dukuh
Jalasida. Setelah mengutarakan maksud dan tujuanya, Mochammad Badri pun
menerima tawaran itu. Tidak menunggu lama Abu Bakar dan istrinya mempersiapkan
segala perbekalannya untuk berangkat mondok. Tahapan awal Ia diantar untuk
mondok di Pondok yang dekat dekat dulu yaitu di Pondok Pesantren Pekeyongan. Kemudian
mengikuti jejaknya setelah dari pekeyongan dibawa ke Pesugihan Cilacap.
Sementara Sumiyati yang mengaji pada Haji
Ilyas, karena anaknya nurut dan mudah faham setiap yang diajarkanya, Haji Ilyas
pun mengangkatnya sebagai anak. Setelah beberapa tahun tinggal dan ngaji di
rumah Haji Ilyas, dan sudah lama berpisah dengan suaminya. Haji Ilyas
menyarankan untuk bercerai saja, karena suami sudah tidak pernah menjenguk,
tidak pernah memberi nafkah lahir batin. Haji Ilyas selalu menasehati sumiati,
“Sum.. kamu ini cantik, pinter ngaji, sementara suamimu tidak pernah raup,
tidak ngerti agama, tidak bertanggung jawab sama kamu. Bagaimana bisa Ia
membimbing kamu? Karena suami adalah imam mu. Apa tidak lebih baik kalian
bercerai saja, ini demi kebaikan dan masa depanmu. Walaupun perceraian itu
tidak baik. Tapi lebih tidak baik jika suamimu tidak bisa menjadi imam mu, yang
seharusnya menuntunmu ke surga-Nya”. Akhirnya Sumiati pun menuruti saran
gurunya yang juga bapak angkatnya. Beberapa waktu kemudian resmilah Ia menjadi
seorang janda.
Beberapa tahun kemudian selesailah Mochamad
Badri dalam mendampingi Achmad Ghozali
mondok, karena Ia tidak mau mondok terlalu lama, Ia merasa sudah cukup bekal
untuk ibadah dan membimbing keluarganya kelak. Akhirnya Mochamad Badri
menyerahkan Achmad Ghozali kepada Abu Bakar. Abu Bakar dan suaminya sangat
berterima kasih kepada Mochammad Badri karena anaknya kini menjadi rajin ibadah
dan pandai agama. Dan anak perempuanya yang sedang ngaji pada Haji Ilyas pun
kini telah menguasai beberapa kitab fiqih. Melihat anak perempuanya yang kini
statusnya seorang janda, dan melihat Mochammad Badri adalah seorang pemuda yang
masih lajang. Abu Bakar dan istrinya pun ingin menjodohkan anaknya dengan
Mochammad Badri.
Pada suatu hari Abu Bakar mengundang
Mochammad Badri kerumahnya, untuk sekedar ngobrol sambil minum kopi. Hingga
akhirnya pada puncak perbincangan Abu Bakar dan istrinya menawarkan kapada
Mochammad Badri untuk menikah dengan sumiati anaknya. Singkat cerita Mochammad
Badri bersedia asal sumiati juga bersedia tanpa pemaksaan. Mendengar hal itu Abu
Bakar dan istrinya sangat senang begitu juga Haji Ilyas sangat gembira dan
sangat mendukung. Akhirnya keduanya pun dinikahkan. Setelah menikah mereka
tinggal di Jalasida membangun pondok dan mengajarkan pemuda pemudi sekitar
untuk mengkaji ilmu agama. Abu Bakar dan istrinya sangat senang karena anak
anaknya dan menantunya adalah orang-orang yang mengerti agama. Karena pada saat
itu ilmu agama masih sangat sedikit di pelajari orang. Dan masjid masjid masih
sangat jarang. Karena anak anaknya sudah mondok dan belajar agama, maka
terpikirkan oleh Abu Bakar dan istrinya untuk ikut mendalami ilmu agama dari
anak anak dan menantunya. Setelah memahami ilmu tauhid dan fiqih dan belajar manasik
haji, merekapun berkeinginan untuk pergi haji ke Baitulloh. Dengan bimbingan
menantunya akhirnya merekapun pergi Haji. Berkunjung ke Masjidil Haram dan
Masjid Nabawi. Nyai Abu Bakar tersenyum bila mengingat seorang peramal di Pasar
Petanahan beberapa tahun lalu yang menjadi kenyataan.
Sepulang dari ibadah Haji, Abu Bakar
berembug dengan menantunya yaitu Mochammad Badri untuk menyampaikan
keinginannya membangun Masjid di samping rumahnya. Dan memohon pada Mochammad
Badri dan istrinya untuk tinggal bersamanya serta menjadi imam di Masjid yang
Ia bangun, karena Achmad Ghozali lebih tertarih ketika ditawari menjadi Lurah. Akhirnya
dibangunlah Masjid di pekarangan samping rumah sebelah depan, di tanah bekas
kandang kuda dan garasi gerobak. Setelah masjid selesai dibangun, H. Abu Bakar memberi
amanat agar Mochammad Badri menjadi imam
di Masjid tersebut. Lalu dipindahlah pondok pondok panggung yang ada di
jalasida ke samping samping Masjid yang baru dibangun. Santri santrinya pun
ikut boyong ke Masjid baru di sitirejo itu. Yang kemudian Masjidnya diberi nama
Masjid Darussalam. Walaupun yang jama’ah dan ngaji di Masjid itu terbilang
sangat ramai, namun pada perkembanganya ditempat yang baru itu pondoknya justru
malah kurang berkembang.
Dari pernikahannya antara Hj. Sumiyati dan
KH. Mochammad Badri dikaruniai seorang anak laki laki yaitu KH. Kastolani. KH.
Kastolani kemudian menikah dengan Hj. Siti Maemunah seorang janda, putri dari
KH. Nawawi Pengasuh Pondok Karangglonggong. Ibunya yaitu Hj Nyai Nawawi adalah
cucu dari KH. Syafi’i adik dari KH. Sujangi.
Disaat masa tuanya Nyai Hj Abu Bakar saat
berkumpul bersama keluarga sering bercerita sambil tertawa, mengenai seorang
peramal di pasar yang tanpa terpikirkan olehnya kalau ternyata semua ramalanya
menjadi kenyataan, yaitu melaksanakan ibadah haji, dan membangun masjid yang
dulu masih dianggapnya mustahil.
Penulis : Mustolihakim
Berdasarkar cerita dari :
Simbah KH, Mochammad Badri (Alm)
Simbah Nyai Sumiati (Almh)
Bpk KH. Kastolani (Alm)